Oleh: Nadia A. Isyah Fatmawati (Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura)
Jurusan: Hukum
Ramai beberapa waktu lalu viral, sebuah kasus yang menjerat Junaedi (16) alias JND siswa SMK yang membunuh satu keluarga di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Korban dari kasus ini berjumlah lims orang, yaitu satu keluarga di antaranya Waluyo (WO), istrinya Sri Winarsih (SW), kemudian ketiga anak pasutri tersebut masing-masing berinisial RJS (15), VDS (11) dan ZAA (3).
Diketahui bahwa motif pelaku melakukan pembunuhan ini adalah karena asmara dan dendam pribadi. Pelaku merupakan mantan pacar dari RJS yang menjadi salah satu korban dalam kasus ini. Hubungan antar pelaku dan korban tidak direstui oleh pihak keluarga dan antara keluarga korban dan pelaku terlibat dalam beberapa permasalahan kecil lainnya.
Rumah korban dan pelaku dekat (bertetangga) dan hanya berjarak 20 meter saja. Mirisnya, tidak hanya membunuh korban saja, JND juga memperkosa SW (ibu korban) dan RJS (mantan pacar korban) setelah melakukan pemerkosaan pelaku juga mengambil ponsel dan uang korban sebesar Rp. 363 ribu. Setelah membunuh para korban, pelaku beralibi, namun pihak Kepolisian berhasil mengungkapkan kebenarannya. Maka dari itu, hal ini menjadi pengingat bahwa selalu ada celah untuk dapat mengungkap suatu kebohongan dan menghadirkan kebenaran.
Kasus tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat karena pelaku melakukan pembuhuhan tersebut saat masih berusia 17 tahun namun genap 3 minggu lagi pelaku anak berusia 18 tahun, usia dewasa di dalamn KUHP untuk seseorang dapat dikatkan dewasa secara hukum. Kasus JND dikenai dengan pidana anak karena masih berusia 17 tahun. saat ini usia dewasa untuk seseorang dapat mempertanggungjawabkan pidana di indonesia adalah 18 tahun. Maka dari itu, JND masih dilindungi oleh UU nomor 11 tahun 2011 tentang pidana anak.
Dalam hukum pidana waktu terjadinya suatu tindak pidana (tempus delicti) adalah hal yang sangat penting. Hal ini ditujukan:
a. untuk keperluan daluwarsa dan penuntutan
b. untuk mengetahui apakah saat itu sudah terjadi hukum pidana atau belum
c. apakah si pelaku sudah mampu bertanggungjawab atau belum (pertanggungjawaban).
Mengacu pada pasal 143 ayat (2) KUHAP tempus delicti merupakan syarat sah atau mutlaknya suatu surat dakwaan. JND oleh JPU hanya didakwa dengan menggunakan 2 pasal, pasal pertama adalah pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Pasal yang kedua adalah pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan. Pada akhirnya JPU menuntut pidana 10 tahun penjara bagi JND, tuntutan tersebut membuat banyak pihak yang marah karena dianggap terlalu ringan bagi pelaku yang sudah membunuh 5 orang.
Tuntutan dari JPU itu didasarkan pada junaedi yang masih berstatus sebagai anak di bawah umur, sehingga ia masih dilindungi dengan undang-undang perlindungan anak. Tuntutan JPU diberikan berdasarkan undang-undang SPPA (sistem peradilan pidana anak) di mana menyatakan pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa definisi anak adalah orang berumur di bawah 18 tahun, kemudian pada pasal 81 ayat 6 apabila perbuatan yang dilakukan diancam hukuma mati atau pidana seumur hidup maka ancaman hukuman anak paling lama adalah 10 tahun. Namun majelis hakim diberikan putusan vonis hukuman 20 tahun penjara bagi Junaedi, hal ini lebih tinggi dari vonis yang dijatuhkan oleh JPU.
Dengan vonis ini rasanya sudah menjadi jalan tengah yang tepat mengingat berbagai pertimbangan yang ada. Keputusan yang ada ini menggali nilai-nilai di luar aturan normatif yang ada. Walaupun banyak yang tidak puas akan keputusan ini mengingat keadilan merupakan hal yang sangat subjektif dan tidak sama nilainya di mata setiap orang. Mengaca pada kasus ini, revisi dari batas usia untuk seseorang dianggap dewasa sangat diperlukan, menilai pada kasus ini ternyata pelaku dapat melakukan tindakan kriminal yang melampaui usianya. Undang-undang terhadap perlindungan anak yang berlaku saat ini dapat dinilai tidak relevan lagi dengan perkembangan dan perubahan zaman.
Pada kasus ini, JND dituntut dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan pasal 346 tentang pencurian, padahal dalam pengakuannya, Junaedi menyatakan bahwa dia memperkosa korban setelah membuhuhnya, padahal sudah terdapat alat bukti yang cukup. JPU memutuskan untuk tidak menuntut Junaedi dengan pasal pemerkosaan karena korban diperkosa ketika sudah tidak bernyawa (mayat). Perbuatan menyetubuhi mayat Ini lazim disebut dengan nekrofilia. Di dalam KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) tidak mengatur secara jelas adanya pasal-pasal tindak pidana mengenai pemerkosaan terhadap mayat atau nekrofilia. Hanya terdapat pasal 285 KUHP yang mengatur tentang pemerkosaan, tindakannya hanya terbatas pada korban yang masih hidup dan dalam kondisi yang tidak berdaya. Pasal ini tidak mengatur jelas hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku yang melakukan tindakan tersebut kepada orang yang sudah meninggal.
Masalah lainnya, yurisprudensi yang kuat tidak dimiliki penegak hukum untuk dapat dijadikan acuan yang dapat menguatkan untuk menghukum pelaku kasus pemerkosaan terhadap mayat. Maka dari itu, pada kasus ini pasal yang dikenakan utama adalah tentang pembunuhan berencana. Hal ini menjadikan bukti bahwa kasus pemerkosaan terhadap mayat tidak bisa dijadikan sebagai tindak pidana. Selain itu berlaku asas legalitas yang di mana menyatakan bahwa suatu tindakan hanya bisa dikenai hukum pidana jika suatu tindakan tersebut telah secara jelas diatur sebagai perbuatan pidana dalam perundang-undangan yang berlaku sebelum tindakan dilakukan. Asas ini tercermin pada pasal 1 ayat (1) KUHP. Hal ini dapat menjadi celah hukum dan dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Celah hukum merupakan celah yang terdapat dalam ketentuan atau peraturan yang isinya masih belum sepenuhnya dapat mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya tindakan untuk menghindari maksud dari ketentuan tersebut tanpa melanggar materi ketentuannya. Maka dari itu, dalam peraturan perundang-undangan perlu mengatur tentang adanya tindak pidana ini, sebagai upaya untuk menindak pidana kejahatan serupa di masa depan.
Selain itu, perlu untuk meningkatkan integritas penegakan hukum, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam lembaga penegak hukum, perbaikan dalam manajemen internal lembaga penegak hukum. Pemerkosaan terhadap mayat harusnya merupakan suatu tindakan yang dapat dijatuhkan pidana mengingat bahwa hal ini merupakan tindakan yang sangat tidak beradab yang menciderai moral, agama, dan norma. (*)