banner 160x600
banner 160x600
ADV Space 970x250

IPSI Lawan Kekerasan Terhadap Jurnalis dan Mendesak Aparat Mengusut Tuntas FPI

Foto Ilustrasi

JAKARTA, BeritaBhayangkara.com – Terbukanya ruang publik dan merebaknya organisasi masyarakat sipil tidak selalu berkorelasi dengan penguatan demokrasi. Itulah kira-kira yang terjadi di Indonesia pasca-reformasi. Bukaan demokrasi tidak hanya memberi ruang bagi organisasi masyarakat sipil yang pro-demokrasi, tapi juga yang anti-demokrasi. Salah satu di antaranya adalah organisasi organisasi anti-minoritas yang giat menyebarkan intoleransi dan kebencian, dan tak jarang berujung pada aksi kekerasan.

Hal ini disoroti pegiat PERS D. Manurung yang sekaligus Koordinator Nasional Insan PERS seluruh Indonesia (IPSI) menyikapi aksi kekerasan dan Intimidasi Jurnalis Saat Munajat 212 yang digelar pada Kamis malam (21/2/2019), di kawasan Monas, Jakarta. Aksi main hakim sendiri, dengan sendirinya sangat bertentangan dengan demokrasi, ujar Manurung.

Koordinator Liputan CNN Indonesia TV, Joni Aswira yang berada di lokasi menjelaskan kejadian tersebut. Malam itu, belasan jurnalis dari berbagai media berkumpul di sekitar pintu masuk VIP, dekat panggung acara. Mereka menanti sejumlah narasumber yang datang untuk diwawancarai.

Tiba-tiba di tengah shalawatan sekitar pukul 21.00 WIB, terjadi keributan. Massa terlihat mengamankan orang. Saat itu, beredar kabar ada copet tertangkap. Para jurnalis yang berkumpul langsung mendekati lokasi kejadian. Beberapa di antaranya merekam, termasuk jurnalis foto (kamerawan) CNN Indonesia TV.

Kamera jurnalis CNN Indonesia TV cukup mencolok sehingga menjadi bahan buruan sejumlah orang. Massa yang mengerubungi bertambah banyak dan tak terkendali. Beberapa orang membentak dan memaksa jurnalis menghapus gambar kericuhan yang sempat terekam beberapa detik.

Saat sedang menghapus gambar, Joni mendengar ucapan bernada intimidasi dari arah massa. “Kalian dari media mana? Dibayar berapa?”, “Kalau rekam yang bagus-bagus aja, yang jelek enggak usah!”

Nasib serupa juga dialami wartawan Detikcom. Saat sedang merekam, dia dipiting oleh seseorang yang ingin menghapus gambar. Namun, dia tak mau menyerahkan ponselnya.

Massa kemudian menggiring wartawan Detikcom ke dalam tenda VIP sendirian. Meski telah mengaku sebagai wartawan, mereka tetap tak peduli. Di sana, dia juga dipukul dan dicakar, selain dipaksa jongkok di tengah kepungan belasan orang.

Namun akhirnya ponsel wartawan tersebut diambil paksa. Semua foto dan video di ponsel tersebut dihapus. Bahkan aplikasi WhatsApp pun dihapus, diduga agar pemilik tak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Usai kejadian itu, korban langsung melapor ke Polres Jakarta Pusat dan melakukan visum.

Jurnalis CNNIndonesia.com yang meliput di lokasi kejadian ikut menjadi saksi kekerasan tersebut. Sementara jurnalis Suara.com yang berusaha melerai kekerasan dan intimidasi itu terpaksa kehilangan ponselnya.

Koordinator Nasional Insan PERS seluruh Indonesia (IPSI) D.Manurung mengatakan kelompok garis keras yang berkembang di Indonesia yang demokratis dan kerap main hakim sendiri adalah FPI yang paling terkenal, kelompok transformatif yang diwakili oleh Hizbut Tahrir Indonesia, yang ingin menggantikan sistem demokratik di Indonesia dengan khilafah dan mereka merupakan kelompok-kelompok Islam yang mendukung formalisasi syariat Islam dan berniat menggantikan sistem demokrasi dengan pemerintahan Islam. Tujuannya bisa sangat sempit dan diskriminatif, doktrinnya bisa eksklusif, dan untuk beberapa taktiknya bisa termasuk penggunaan kekerasan.

Berdasarkan atas hukum sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945, seluruh wartawan Indonesia menjunjung tinggi konstitusi dan menegakkan kemerdekaan pers yang bertanggung jawab, mematuhi norma-norma profesi kewartawanan, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memperjuangkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial berdasarkan pancasila.

Menyikapi hal tersebut diatas, dalam UU RI No 40 Tahun 1999 tentang PERS disebutkan di Pasal 8 yang berbunyi Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum dan didalam Pasal 18 ayat (1) berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).

Demi tegaknya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib, Insan PERS seluruh Indonesia (IPSI) menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Demi tegaknya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib Insan PERS Seluruh Indonesia (IPSI) meminta aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan massa FPI terhadap para jurnalis yang sedang liputan Munajat 212.
2. Mendesak pemerintah untuk membubarkan Ormas FPI yang secara aktif melemahkan nilai-nilai demokratis karena dianggap kerap melakukan berbagai aksi penghasutan,
vandalisme serta penyerangan.
3. IPSI mendesak pemerintah segera memutus keterkaitan aktor negara dengan kelompok-kelompok tersebut serta memperkuat pluralisme agar dapat membawa perubahan signifikan.

Lebih lanjut Koordinator Nasional IPSI D.Manurung dalam keterangan persnya, Jumat, (22/02/2019) menyampaikan agar rakyat Indonesia bersatu melawan kekerasan dan kebrutalan FPI dan ormas yang melakukan tindakan serupa, mendesak pemerintah mengusut kasus-kasus kekerasan yang pernah ditimbulkan oleh FPI, mendesak pemerintah agar mampu menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat dan meninjau ulang keberadaan FPI karena mengancam hak dan sumber-sumber kehidupan rakyat. (Rls.D.M)