JAKARTA, BeritaBhayangkara.com – Episode ke-17 Ngabuburit bersama Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan “MATA AIR KEARIFAN WALISONGO” pada Kamis, 29 April 2021, mengambil tema ‘Membumikan Al-Quran ala Walisongo’ dengan narasumber Gus Miftah dan dipandu Gus Zuhairi Misrawi.
Islam melalui firman Tuhan menegaskan perbedaan bukanlah sebuah halangan atau sebuah hal yang dapat memecah-belah. Akan tetapi sebaliknya persatuan adalah hal yang wajib untuk kita lakukan. Kita menyadari bahwa memahami Islam secara tekstualistik dan legal-formal sering mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Padahal, Al-Quran tidak melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang melampaui batas.
Hal itu disampaikan oleh Gus Miftah, dalam acara ngabuburit bareng Badan Kebudayaan Nasional Pusat (BKNP) PDI Perjuangan, pada hari Kamis (29/4), pukul 17.00 WIB.
Lebih lanjut, Gus Miftah menjelaskan bahwa seorang Muslim harus mendalami dan memahami ajaran Islam secara komprehensif, utuh, dan menyenangkan, hingga ajaran tersebut memberikan dampak sosial yang positif bagi dirinya. Seperti disebutkan di dalam Alquran, mencerna teks-teks ilahiah secara objektif, hati yang bersih, rasional, hingga mampu memunculkan hikmah yang terkandung di dalamnya.
“Saya ingin orang itu memahami Al-Qur’an sesimpel mungkin, bagaimana kemudian bahasa-bahasa Al-Qur’an itu menyenangkan. Artinya jangan sampai kemudian Al-Qur’an yang sebenarnya menyenangkan tapi jadi alat untuk menakut-nakuti orang”, jelas Gus Miftah.
Bagaimanapun nantinya wajah Islam, ia tergantung pada pintu masuknya. Kalau pintu masuknya keras, maka hasilnya akan melahirkan Islam yang penuh dengan kekerasan. Kalau pintu masuknya marah maka akan melahirkan Islam yang penuh dengan kemarahan. Tapi kalau pintu masuknya ramah, maka akan jadi Islam yang ramah dan menyenangkan.
Gus Miftah mencontohkan bagaimana seharusnya seorang Muslim mengamalkan ajaran Islam yang ramah tatkala mendapati saudaranya yang tidak berpuasa di siang hari bulan Ramadhan. Pada saat seperti itu Allah sedang menguji sikap seorang Muslim, apakah ia mampu menyikapinya dengan santun atau bahkan malah melakukan kekerasan dengan cara merazia dan menutup paksa restoran atau warung makan yang buka tengah hari.
“Orang-orang yang razia itu menutup warung makan dengan macam-macam. Pertanyaan saya apakah itu akan menjadikan Islam yang ramah atau marah? ‘Maraaah’,” lanjut Gus Miftah.
Tidak seharusnya seorang Muslim sejati bersikap seperti itu. Amar ma’ruf nahi munkar juga ada tata cara dan aturannya sesuai dengan syariat, apalagi ini persoalan puasa yang hubungannya langsung antara seorang hamba dengan Tuhannya.
“Bagi saya Ramadhan itu, ketika ada orang makan saya gak ada masalah. Karena “Ashaumu lii” kata Allah, puasamu untukku dan Aku yang akan membalasnya.
Gus Miftah juga memberikan pandangan bagaimana menjadi seorang Muslim yang baik. Idealnya, seorang Muslim harus mendalami dan memahami ajaran Islam secara komprehensif, termasuk memahami esensi dari ibadah puasa yang diwajibkan Allah selama satu bulan, hingga ajaran tersebut memberikan dampak sosial yang positif bagi diri dan lingkungannya.
“Dan ingat, puasa itu mengajarkan sensitivitas sosial. Kalau kemudian kita emosi gara-gara ada restoran yang buka, harusnya kita malu,” pungkas Gus Miftah. (Red.)