PASURUAN, BeritaBhayangkara.com – Pada April 2017, PT Prawira Tata Pratama (PT. PTP), melalui surat yang ditandatangani langsung oleh Direktur Utama PT. PTP mengajukan ijin untuk membangun perumahan prajurit di Dusun Jurang Pelen, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, kepada Bupati Pasuruan.
Melalui Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Pasuruan, Pemkab membalas surat PT. PTP pada 25 Mei 2017. Dalam surat bernomor: 503/322.4/424.086/2017 itu, Pemkab menyatakan bahwa permohonan izin lokasi perumahan oleh PT. PTP sebelumnya tak bisa dikabulkan. Surat tersebut pada pokoknya menyatakan pengajuan itu tidak bisa disetujui karena tidak sesuai dengan tata ruang. Karena setelah dicek, (lokasi yang diajukan) itu untuk peruntukan pertanian lahan kering.
Hingga saat ini, setelah hampir 4 tahun berjalan, rencana pembangunan perumahan itu tak pernah terwujud. Alih-alih membangun rumah, lahan tersebut malah menjadi lokasi penambangan sirtu liar dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang luar biasa. Kegiatan tambang illegal ini terbukti tidak mudah untuk dihentikan, sejak 2017 sampai dengan 2020, setiap harinya ratusan dump truck dengan kapasitas 8 ton hingga 20 ton hilir mudik mengangkut dan menjual material sirtu ke sejumlah proyek.
Beberapa pertanyaan muncul melihat kegiatan pengembang di lokasi tersebut:
• Membutuhkan waktu hampir 4 tahun untuk (yang dikatakan sebagai) kegiatan persiapan lahan perumahan?
• Menghasilkan hanya 4 rumah contoh, selama (yang dikatakan sebagai) kegiatan persiapan yang berlangsung hampir 4 tahun ini?
• Pada kenyataannya, hasil dari (yang dikatakan sebagai) kegiatan persiapan lahan perumahan ini, malah menimbulkan dinding galian tegak (90 derajat) setinggi 25-50 meter, mengisolir kampung setempat yang berisi 34KK, dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang luar biasa?
Beberapa instansi maupun penegak hukum telah berupaya mengingatkan, menegur, mengundang, bahkan menurunkan tim mendatangi lokasi kegiatan tambang ilegal ini. Nyatanya perusahaan tetap terus membandel melanjutkan kegiatan perumahan dan pertambangan tanpa ijin tersebut.
Pemkab Pasuruan sendiri tercatat beberapa kali melakukan upaya untuk menutup tambang ilegal ini. Saat awal kasus ini mencuat, Pemkab sempat menurunkan tim untuk melakukan kegiatan monitoring ke lokasi. Akan tetapi, hasilnya nihil.
Alih-alih menutup lokasi itu, rombongan Pemkab justru gagal masuk lantaran dihalau oleh mereka yang mengenakan sepatu PDL (pakaian dinas lapangan). “Kami hanya boleh memantau dari luar. Itu pun dengan kawalan mereka,” terang salah satu sumber di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang sempat melakukan monitoring ke lokasi.
Keterangan serupa juga datang dari mantan pejabat di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Ketika itu, pihaknya hendak mengirim bantuan air bersih kepada warga di Kampung Rekesan, yang kebetulan lokasinya di tengah galian. Namun, jelang masuk lokasi, ia dihentikan petugas bercelana loreng. “Setelah kami sampaikan, baru diperkenankan masuk,” ujarnya.
Beberapa warga yang ditemui mengaku sanksi dengan rencana pembangunan perumahan itu. Selain lokasinya yang kurang ideal, karena di tengah cekungan dengan kanan-kiri tebing dan tak berizin, area ini sering tergenang banjir air limpasan dari atas. Sebaliknya, besar dugaan bahwa rencana itu hanya sebagai kedok oleh perusahaan agar bisa menambang. “Siapa yang mau tinggal di sana, di musim kering susah air dan gersang, di musim hujan limpasan semua air dari dusun-dusun di atas menuju ke lokasi ini sehingga tergenang banjir yang cukup tinggi dan deras,” ujar mereka “Tinggal di tepi tebing tegak setinggi 50 meter berisiko longsoran dari atas”. Warga lain menyatakan, “Apa masuk akal pak, dikatakan dari awal ini pekerjaan persiapan lahan perumahan tapi pelaksanaannya tebing digali tegak,” ungkapnya.
Pada November 2017, sebagai tanggapan atas surat keluhan warga, Team Sekretariat Negara melakukan audiensi di Pendopo Kabupaten Pasuruan dibarengi dengan peninjauan lokasi kegiatan tersebut, di mana disimpulkan bahwa kegiatan perumahan dan pertambangan di wilayah ini adalah tidak berizin dan pihak Setneg menegaskan perlu dilakukan Langkah penanganan terpadu dalam kerangka penegakan hukum.
Pihak pengembang juga tidak dapat menjelaskan rencana kerja sebagaimana layaknya perusahaan yang merencanakan pembangunan perumahan. Terbukti selama kegiatan 4 tahun terakhir, lokasi tersebut tidak terlihat sebagai kawasan yang layak huni bahkan lebih terlihat sebagai kawasan pertambangan dengan ratusan truck yang keluar masuk menjual material sirtu.
Penilaian lebih kritis disampaikan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto. Pihaknya mencurigai adanya permainan oknum aparat dengan pengusaha terkait beroperasinya tambang ilegal di Bulusari itu. “Dilihat dari lokasinya, jelas itu tidak layak untuk kawasan permukiman karena daerah sulit air. Kedua, ternyata kan tidak sesuai dengan tata ruang daerah. Makanya, bisa jadi ini hanya permainan perusahaan tambang menjadikan aparat sebagai bemper agar bisa menambang di situ,” jelas Rere melalui selulernya.
Penuturan serupa disampaikan Sekda Kabupaten Pasuruan, Anang Saiful Wijaya. Menyusul kegiatan ilegal itu, sebelumnya pihaknya melayangkan surat kepada PT. Teja Sekawan (PT TS) guna meminta klarifikasi. Hasilnya, pihak PT TS tidak mengakui memiliki lahan tambang di wilayah Bulusari.
Menyusul surat jawaban itu, upaya klarifikasi kemudian dilakukan Pemkab dengan mengundang perwakilan PT. Prawira Tata Pratama (PT PTP). Akan tetapi, tak pernah diindahkan. “Pernah kami undang, kami panggil, tidak pernah direspons,” jelas Anang. Menurut Anang, bisa saja pihaknya meneruskan dengan memasang plang penutupan di lokasi. Akan tetapi, hal itu dirasa percuma lantaran keterbatasan regulasi. “Kewenangan kami kan hanya sebatas pelanggaran Perda. Jadi, untuk sampai ke penindakan hukum pidana, itu di luar kewenangan kami,” jelasnya.
LBH Ansor Jawa Timur merasa perlu menanggapi kondisi kian maraknya tambang ilegal di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur ini, menurut Jafar Shodiq, “Kami sudah mengirimkan surat kepada Presiden pada Januari 2020. Intinya, kami minta Presiden untuk menindak kegiatan penambang ilegal”. Menurut LBH Ansor, kegiatan yang dilakukan oleh korporasi ini jelas-jelas tak berizin dan membuat ekosistem di wilayah tersebut rusak parah.
Pada 5 Maret 2020, Menanggapi surat LBH Ansor tersebut, Pemkab menggelar rapat koordinasi dengan pejabat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), dengan kesimpulan bahwa penambangan tanpa ijin di wilayah Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan telah dilakukan sejak 2017 sampai 2020 dan forum sepakat untuk membawa Kembali persoalan ini ke tingkat pusat. Forkopimda melalui Kejaksaan dan Kepolisian berharap ada penegakan hukum terkait kegiatan penambangan tanpa ijin tersebut.
Dengan kesepakatan bersama Forkopimda Kabupaten Pasuruan, Agustus 2020, Bupati Pasuruan menyampaikan surat kepada Bapak Presiden sebagai laporan dan permohonan dukungan penegakan hukum penambangan tanpa ijin tersebut.
Permohonan Bupati tersebut ditanggapi dengan tegas oleh Bapak Presiden melalui surat kepada instansi terkait, menyatakan bahwa kegiatan tanpa ijin ini telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah, sehingga perlu adanya tindakan penutupan kegiatan dan tindakan penegakan hukum.
Tindakan penutupan kegiatan
Pada September 2020, Akhirnya setelah hampir 4 tahun, tim dari Kementerian Lingkungan Hidup, DLH Pasuruan, dan dengan pengawalan pihak TNI dan Kepolisian turun ke lokasi penambangan ilegal tersebut. Sehari sebelum kunjungan tersebut, pihak perusahaan telah mengangkut seluruh alat berat dan telah menghentikan seluruh aktivitas penambangan. Hanya tinggal lubang galian, batu-batu, dan peralatan pemecah batu yang tidak sempat diangkut oleh perusahaan penambangan ilegal tersebut.
Bagaimana selanjutnya tindakan penegakan hukum?
Informasinya proses hukum kasus tindak pidana penambangan tanpa ijin telah ditangani oleh pihak Bareskrim Polri dan proses hukum kasus tindak pidana korupsi telah ditangani oleh pihak Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan.
Pada awal tahun ini, Tim dari Bareskrim Polri melaksanakan peninjauan ke lokasi tambang di Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Rabu (3/3/2021) pagi. Peninjauan ini bertujuan untuk menentukan titik koordinat lokasi tambang yang diduga ilegal.
Ketua tim dari Bareskrim Polri Kompol Eko Susanda menjelaskan, kedatangan Bareskrim Polri guna memastikan koordinat lokasi tambang di Dusun Jurang Pelen 1, Desa Bulusari. Lantaran diduga sekian lahan tambang di wilayah setempat diduga ilegal.
“Kami datang ke lokasi tambang untuk sidak dan cek langsung lokasi tambang yang diduga ilegal atau PETI (Penambangan Tanpa Izin). Karena wilayah tambang di sini sudah menjadi atensi pusat, nanti juga akan didapatkan dampak kerusakan lingkungannya,” jelas Eko.
Kunjungan ke Bulusari itu Bareskrim Polri didampingi tim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta Kementerian ESDM juga ikut terjun ke lokasi. Sejumlah pejabat setempat, juga terlihat mendampingi, seperti Kepala DLH Kabupaten Pasuruan Heru Farianto, Camat Gempol Nur Kholis juga ikut mendampingi.
Tim dari Bareskrim Polri meninjau ke sejumlah titik tambang di Jurang Pelen 1. Luasan wilayah tambang yang ditinjau sekitar 20 hektar. Salah satunya lokasi tambang yang berada di dekat Bukit Maryam, Wilayah Rekesan. Di sana, pihak kepolisian memasang sejumlah patok batas-batas wilayah tambang. Guna menentukan koordinat wilayah tambang yang diduga ilegal. Pihak Bareskrim juga memasang Police line untuk memastikan steril alat bukti yang berada di wilayah tambang yang diduga ilegal tersebut. “Yang jelas kami mendatangi lokasi untuk menentukan lokasi PETI,” singkatnya, tanpa menyebut kepemilikan lahan.
Pada April 2021, untuk kesekian kalinya, Presiden menanggapi keluhan warga dan pemerintah daerah ini, dengan mengirimkan tim dari Sekretariat Negara untuk melakukan audiensi dan peninjauan lokasi kegiatan perumahan tanpa ijin dan pertambangan tanpa ijin ini. Di lokasi, ketua tim Setneg, dengan tegas menyatakan, “Pengaduan ini adalah sangat nyata bahwa tindak pidana penambangan liar benar-benar terjadi dan kondisi alam sudah sangat memprihatinkan,” selanjutnya ketua tim Setneg menegaskan kembali, ”Kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan ini adalah jelas tanpa ijin dan terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah, bisa dilihat bersama ada kelongsoran di beberapa titik, dan ini semakin meyakinkan tidak mungkin ada suatu perumahan di daerah seperti ini” “Yang katanya untuk perumahan nyatanya tidak ada dan memang tidak mungkin di daerah seperti ini ada suatu perumahan”.
Pada Mei 2021, setelah jalan panjang penghentian tambang ilegal di Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, akhirnya Bareskrim Polri melakukan penahanan terhadap pria berinisial AT yang merupakan bos tambang liar tersebut.
Kabar penangkapan bos tambang ilegal galian C atau sirtu asal Surabaya itu dibenarkan oleh Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pol Pipit Rismanto. Kasus tersebut sudah naik ke tahap penyidikan. Bos tambang tersebut, ditahan atas kasus tindak pidana lingkungan hidup dan pertambangan.
“Yang bersangkutan sementara selama proses sidik. Kami lakukan penahanan. Kasus tindak pidana lingkungan hidup dan pertambangan. Ditahan untuk kepentingan penyidikan,” imbuhnya dilansir dari Detikcom, Kamis (27/5/2021).
Pada akhirnya, negara dan aparat penegak hukum hadir membantu penyelesaian permasalahan yang telah sejak 2017 meresahkan warga dan pemerintah daerah. Masyarakat berharap segala bentuk tekanan dan intervensi yang terbukti terjadi selama ini dapat diawasi bersama demi lancarnya proses hukum oleh Bareskrim Polri dan Kejaksaan Negeri Kabupaten Pasuruan, sesuai aturan yang berlaku, terhadap terduga pelaku tindak pidana pertambangan dan tindak pidana kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang parah ini.
Kehidupan yang kondusif sangat dirindukan oleh seluruh warga desa Bulusari Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Kita adalah negara hukum yang wajib mengedepankan aturan yang berlaku, bukan sebaliknya kalah atas arogansi kekuasaan dan tekanan oknum yang nyatanya hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Memaksakan kedok perumahan di daerah yang secara Undang Undang bukan wilayah peruntukan perumahan, di daerah yang secara nyata terlihat sangat tidak layak dan sangat membahayakan untuk dijadikan perumahan, di mana pada kenyataannya malah melakukan kegiatan pertambangan liar yang menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat mengkhawatirkan. Kita tunggu bersama hasil proses penegakan hukum dan proses pemulihan kerusakan lingkungan ini. Aturan wajib ditegakkan bukan ditekan untuk diubah demi mengakomodir kepentingan kekuasaan tertentu. (Red.)