JAKARTA, BeritaBhayangkara.com – Bung Karno dikenal sebagai sosok yang sangat merakyat, gagasannya saat ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia banyak diilhami oleh kehidupan rakyat kecil yang tertindas kondisi sosial ekonominya, atau yang biasa disebut sebagai wong cilik. Termasuk saat Bung Karno menjadikan wong cilik sebagai inspirasinya. Sikap Bung Karno seperti ini sudah terbentuk semenjak ia kecil, karena memang Bung Karno berasal dari kalangan wong cilik itu sendiri.
Pokok pikiran ini menjadi pembuka pembicaraan oleh Dr. Retor A.W Kaligis, M.Si yang merupakan Dosen Fikom Universitas Pancasila, dalam ‘Talkshow & Musik Bung Karno Series’ Episode ke-19 bertema Bung Karno dan Wong Cilik, dipandu oleh Rizka, pada Sabtu 19 Juni 2021.
“Kalau Bung Karno sendiri dari sejarah hidupnya merupakan bagian dari wong cilik itu sendiri. Dan sejak kecil ia di asuh dari kalangan wong cilik yang namanya Sarinah, perempuan desa yang sederhana,” jelas Retor.
Kemudian Retor, yang merupakan Anggota Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia itu menjelaskan, bahwa Bung Karno sangat tahu betul tentang bagaimana jiwa dan perasaan wong cilik. Ia sendiri tumbuh dalam didikan wong cilik, bagaimana Bung Karno diajarkan untuk saling mengasihi dan menyayangi di antara sesama dalam arti yang luas, dan bagaimana perasaan ia tumbuh untuk selalu berpihak kepada sesamanya itu semua ia dapatkan di lingkungan wong cilik.
Ketika Bung Karno pergi ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, meskipun pada ruang, waktu, dan tempat yang berbeda, namun perhatian Bung Karno tidak pernah terlepas dari wong cilik. Jadi ketika Bung Karno kuliah di Bandung tidak hanya sekedar duduk di kampus untuk mempelajari ilmu-ilmu yang baru, namun Bung Karno turut serta terjun dan bergaul dengan masyarakat sekitar.
“Ketika kuliah di Bandung tak sekedar kuliah di kampus, beliau juga menyaksikan penderitaan wong cilik. Ketika itu Bung Karno bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhaen,” jelas Retor
Kemudian penulis buku Marhaen dan Wong Cilik itu menjelaskan lagi, ketika Bung Karno bersekolah di Technische Hoogeschool (THS) juga, Bung Karno banyak menyaksikan pemandangan-pemandangan yang pahit, menyaksikan langsung bagaimana rakyat Indonesia yang hidup dalam kemelaratan, kemiskinan dan serba kekurangan. Kemelaratan dan kemiskinan rakyat tidak luput dari perhatiannya. Sikap inilah yang menjadi energi penggerak bagi Bung Karno untuk memperjuangkan serta membela nasib rakyat miskin.
“Di Nusantara ini subur, tapi rakyatnya banyak yang miskin atau dimiskinkan itu karena penindasan, baik dari feodalisme, kapitalisme atau imperalisme. Rakyatnya mengalami kemiskinan di tengah alam yang subur,” lanjut Retor
Sejak saat itu, dalam upayanya memperjuangkan kemerdekaan, Bung Karno bertekad untuk senantiasa memperjuangkan hak-hak dan keberpihakannya kepada wong cilik. Rakyat Indonesia harus benar-benar makmur dan tercukupi kebutuhannya.
“Kemerdekaan bagi Bung Karno gak sekedar kemerdekaan bangsa, tapi pembebasan rakyat dari penindasan,” lanjut Retor
Di sisi lain yang menjadi perhatian Bung Karno dari kemiskinan dan kemelaratan rakyat Indonesia adalah karena penindasan, dimiskinkan secara sistem, padahal sejatinya mereka wong cilik ini mempunyai alat produksi yang bisa mereka gunakan untuk bekerja. Oleh karenanya dalam penutup diskusi, Retor menjelaskan juga terkait perbedaan proletar dan Marhaen.
“Marhaen itu berbeda dengan proletar, orang proletar adalah mereka yang tidak mempunyai alat produksi, sedangkan marhaen itu punya alat produksi, dalam hal ini punya cangkul dll. tapi miskin atau mengalami pemiskinan,” pungkas Retor. (Red.)