LAMONGAN, BeritaBhayangkara – Makam Sunan Sendang Duwur adalah salah satu wisata religi yang ada di Kabupaten Lamongan. Makam ini merupakan tempat peristirahatan terakhir salah satu tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa. Lokasi lengkapnya berada di atas bukit Amitunon, desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan.
Raden Noer Rahman (nama asli dari Sunan Sendang Duwur), dulunya dikenal pernah memindahkan masjid hanya dalam waktu semalam dari mantingan ke bukit Amitunon, hingga saat ini dikenal dengan nama Masjid Sendang Duwur. Makam beliau cukup unik karena adanya perpaduan antar dua kebudayaan yaitu Islam dan Hindu. Di makam tersebut terdapat banyak ukiran-ukiran istimewa dari kayu jati yang mempunyai nilai seni tinggi, ukiran tersebut berada di area dinding penyangga cungkup pada makam tersebut.
Masjid Sendang Duwur adalah jejak peninggalan dakwah kultural Sunan Sendang Duwur yang gaya aristekturnya berakulturasi antara vernacular tradisi Jawa dengan Hindu. Ditemukan bahwa Masjid Sendang Duwur berarsitektur Joglo dengan empat soko guru yang menyanggah bangunan masjid merepresentasikan bangunan khas vulnacular daerah Jawa. Mustaka pada atap masjid bertumpang tiga mirip meru pada bangunan Hindu, mihrab masjid yang berbentuk lengkungan kalamakara seperti candi, mimbar masjid berukiran Jepara berbentuk florish dan bunga teratai, gapura masjid berbentuk tugu bentar mengingatkan pada bentuk bangunan kori pada kedathon di komplek Kerajaan Hindu. Pada serambi terdapat candrasengkala tulisan Jawa pada sebuah papan kayu yang berbunyi: gurhaning sarira tirta hayu (1483 S=1561 M).
Sunan Sendang Duwur atau Raden Noer Rahmat adalah seorang tokoh yang turut berperan dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, Lamongan. Raden Noer Rahmat merupakan keturunan Syekh Abdul Qohar dari Baghdad yang merantau ke pulau Jawa dan menikah dengan putri dari Tumenggung Sedayu bernama Dewi Sukarsih.
Hal itu diungkapkan oleh Dedy Irawan kepada media ini, Selasa (02/04/2024) yang mengaku sebagai keturunan Sunan Sendang Duwur. Hingga kini, makamnya yang terletak di kawasan dataran tinggi Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran yang masih banyak dikunjungi para peziarah.
“Raden Noer Rohmat lahir pada tahun 1520 masehi dan saat remaja kemudian berpindah dari Sedayu lawas, lalu babat alas di tempat yang bernama Dukuh Tunon ini,” ujar Irfan.
Sejumlah peninggalannya masih terawat dan digunakan hingga kini. Salah satunya, yakni masjid yang berada di area pemakaman Sunan Sendang Duwur. Menurut cerita, masjid yang berada di makam Sendang Duwur ini dibangun tidak secara bertahap. Namun ada beberapa versi cerita yang melingkupi pembangunan masjid ini.
Cerita pertama, masjid tersebut ‘diboyong’ oleh Sunan Sendang Duwur dalam waktu kurang dari semalam dari wilayah Mantingan, Jepara, tempat Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono yang saat itu mempunyai masjid.
“Setelah mendapat gelar Sunan, Raden Noer Rahmat berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid,” ungkapnya.
Cerita lain terkait masjid ini, ungkap Dedy, dibawa rombongan melalui laut dari Mantingan Jepara menuju ke Lamongan hanya dalam waktu satu malam. Saat mendarat di Lamongan, rombongan pengantar masjid ini diterima langsung oleh Sunan Sendang Duwur dan Sunan Drajat beserta pengikutnya.
“Saat istirahat inilah sunan menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman khas daerah setempat,” paparnya.
Pendirian masjid sendiri ditandai dengan surya sengkala yang berbunyi ‘gunaning seliro tirti hayu’ yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau tahun 1561 Masehi. (*)