PAPUA, BeritaBhayangkara.com – Nama Thaha Al Hamid dikenal masyarakat saat memperjuangkan Papua merdeka dan mendorong untuk menyelesaikan persoalan di Bumi Cenderawasih secara damai.
Atas perjuangan itu, pemerintah Indonesia memberikan otonomi khusus (otsus) yang merupakan kesepakatan bersama dalam Kongres Rakyat Papua tahun 2000. Kebijakan itu menjadi solusi politik bagi persoalan di Papua.
Thaha Al Hamid di era pemerintahan Presiden BJ Habibie merupakan salah satu personel Tim 100 yang diminta merumuskan penyelesaian persoalan Papua. Sebelumnya, mereka menyampaikan sudah cukup bersama Indonesia dan akan berpisah atau berdiri sendiri.
“Kebetulan di generasi kami prosesnya berlangsung seperti itu. Kami memilih setelah pulang dari Tim 100. Habibie bilang “kamu pulang dan renungkan.” Akhirnya kami putuskan kita bikin Kongres Papua,” kata Thaha Al Hamid dalam diskusi bersama Komandan Lanud Silas Papare Marsma TNI Budhi Achmadi di kanal Youtube Lanud Silas Papare, Rabu (20/1).
Sebelumnya, dia bersama para tokoh membuat pra kongres bernama Musyawarah Besar Papua pada tahun 2000 di Sentani. Kemudian terbentuklah Dewan Presidium Papua yang terdiri dari presidium Papua dan panel-panel.
“Di situlah terbentuk dan mulai terkontruksi. Saya pemimpin sidang kongres. Diputuskan di kongres, saya sekjen Dewan Presidium Papua,” jelas Thaha Al Hamid. Sementara, dewan presidium diketuai oleh Theys Hiyo Eluay.
Dalam kongres itu dibentuk beberapa komisi, salah satunya adalah Komisi Hak Papua. Kongres sepakat untuk melakukan akselerasi pembangunan hak-hak dasar rakyat Papua. Di dalam hak-hak dasar ini ada hak ekonomi, emansipasi sosial, budaya, pendidikan, dan kesehatan.
Sejumlah tokoh Papua juga telah mengadakan pertemuan dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Jakarta. Dalam pertemuan itu, mereka meminta Gus Dur memperhatikan aspirasi rakyat Papua.
“Kami merasa ini semua berkat komunikasi dialog. Karena sebelum itu kami bertemu dengan Gus Dur, dia berpesan “monggo silakan, kalian mau apa silakan tapi dengan syarat tetap di atas meja (NKRI) dan tetap berdialog”,” Thaha Al Hamid menceritakan.
Tokoh muslim Papua itu selalu berpegang teguh pada prinsip, berjuang dengan cara damai dan mengedepankan dialog terhadap permasalahan yang dihadapi di Papua.
“Saya pegang mandat. Pertama, berjuang secara damai. Kedua, dialog itu mandat kami. Kalau ada di luar itu saya tak mau terlibat, tidak ada kekerasan, tidak boleh usir atau paksa orang. Ini perjuangan damai,” tutur Thaha Al Hamid.
Dia pun menyoroti gerakan yang muncul belakangan ini. Menurut Thaha Al Hamid, perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok orang saat ini telah kehilangan tujuan awalnya.
“Intinya sekarang ini tidak ada ruh. Mau ke mana ruh perjuangan ini, mau ke mana, mau ke Papua merdeka kah. Sekarang orang lebih banyak bicara referendum. Referendum itu cuma jalan bukan tujuan,” katanya.
Thaha Al Hamid juga mengkritik pihak-pihak yang kerap berbicara soal referendum tanpa ada tujuan jelas. Menurutnya, hal itu bukanlah solusi yang mengubah kondisi ke arah lebih baik.
“Hari ini orang kalau bicara referendum, tolak otsus lalu kita referendum, saya ingin tahu mana itu roadnya. Saya ingin tahu jalannya. Jujur saja sehingga anak-anak muda lebih mengedepankan pergerakan fisik. Saya pikir tidak ada pilihan lain kita berhenti dan kita hidup baik-baik di Republik Indonesia,” jelasnya.
Perjuangan panjang para tokoh Papua telah membuahkan hasil, otonomi khusus terhitung sudah 20 tahun berjalan. Otonomi khusus mengerjakan empat hal, yakni pengembangan pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur.
“Saya selalu yakin spesial otonomi bukan itu hasil kami. Tapi itu ikhtiar yang benar karenanya mesti terus jalan dan berlanjut supaya kesehatan, pendidikan dan ekonomi masyarakat diperbaiki,” demikian Thaha Al Hamid. (Red.)