JAKARTA, BeritaBhayangkara.com – Rasulullah SAW bersedih ketika meninggalkan kota Makkah untuk hijrah ke kota Madinah. Beliau bahkan berdoa ketika tiba di Madinah agar bisa mencintai kota Madinah seperti cintanya kepada kota Makkah. Momen inilah yang digambarkan sebagai potret umat muslim wajib untuk mencintai tanah airnya, tanah kelahirannya.
Hal tersebut diulas apik oleh Dr. Andy Hadiyanto dalam acara Inspirasi Sahur: Islam dan Kebangsaan yang ditayangkan di akun youtube BKNP PDI Perjuangan dini hari tadi (30/4/2021). Andy mengungkapkan bahwa cinta tanah air juga merupakan bagian dari keimanan karena kontekstualisasi agama teramat penting dan tidak boleh dikesampingkan.
“Nasionalisme itu sederhananya cinta bangsa negara dan tanah air sehingga muncul cita-cita bersama.
Islam mengajarkan kita untuk mencintai tanah kelahiran kita. Juga untuk berterima kasih kepada tanah, air, dan udara di mana kita bertumbuh kembang. Islam juga mengajarkan untuk menghormati kebudayaan dan ajaran leluhur selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ini dicontohkan oleh Rasul sendiri,” ungkap Dosen Universitas Negeri Jakarta itu.
“Contoh rasul bersedih ketika meninggalkan kota Makkah untuk hijrah ke madinah. Dia berujar sesungguhnya aku cinta kamu, kota kelahiranku. Ketika sampai di Madinah dia berdoa, Wahai Allah berilah aku kecintaan kepada kota Madinah seperti engkau memberikan aku kecintaan kepada kota Makkah. Ini bukti tentang cinta tanah air di mana kita lahir dan tumbuh kembang,” imbuhnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia itu menyebutkan, jika ada yang memahami bahwa kita tidak boleh mencinta tanah maka hal tersebut keliru. Sebab Islam justru mengajarkan bahwa agama yang kita yakini ini harus bertitik tolak dari realitas kita, kebudayaan kita dan kondisi geografis kita sendiri.
“Islam mengajarkan kita untuk tunduk patuh kepada Allah melalui, ini saya tekankan ya, melalui hubungan dengan sesama makhluk. Kita tidak bisa potong kompas hanya tunduk kepada Allah tanpa berbuat baik kepada sesama manusia. Misal Kita tidak bisa mengharap ridha Allah tanpa mendapatkan ridha dari kedua orang tua. Ini contoh paling kongkret,” ucapnya.
“Artinya menjadi manusia artinya harus memperhatikan kondisi dan konteks di mana dia berada. Dia sebagai orang Indonesia maka dia harus mampu menghargai tradisi budaya dan nilai-nilai serta simbol Ke-Indonesia-an selama tidak bertentangan dengan Islam,” jelasnya lagi.
Kontekstualisasi ini terjadi, kata Andy, seperti yang sudah dicontohkan oleh Muhammad SAW. Rasul berdakwah dengan tidak menggusur tradisi Arab. Salah satunya tradisi musyawarah saat mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. Tradisi musyawarah sudah lama berkembang di sana sebelum Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul oleh Allah. Maka sebagai orang Indonesia, lanjut Andy, prinsip-prinsip seperti Pancasila, nilai-nilai kebudayaan serta nilai yang berkembang di wilayah kita wajib kita lestarikan, wajib kita hormati dan kembangkan untuk kebaikan kita bersama.
Maka, poin-poin tersebut termanifestasi dalam contoh-contoh kecil di kehidupan sehari-hari. Seperti menghargai tetangga, saling bertoleransi terhadap semua keberagaman Indonesia juga merupakan salah satu cara mengamalkan nilai-nilai Islam yang utama. Yaitu menebar kedamaian, keselamatan kepada siapa pun yang ada di sekitar kita.
“Bung Karno saat menggali dan mengusulkan Pancasila itu merupakan ijtihad kebangsaan. Beliau sebagai seorang muslim, ini merupakan ijtihad tepat karena Islam harus sesuai dengan konteks dunia yang terus menerus mengalami perubahan yang dinamis. Ijtihad adalah bagian dari beragama. Pancasila di dalamnya juga nilai-nilai Islam. Memang beliau sangat jenius,” tuturnya.
Di akhir acara tersebut, Andy sempat memberikan nasehat dan pandangannya terhadap kondisi perkembangan Islam dan anak muda Indonesia. Dia menyoroti sejumlah hegemoni yang masuk ke dalam dunia maya yang kini digemari milenial.
Menurut dia, makna membela tanah air yang dipahami anak muda sekarang, sangat rentan terkikis oleh era digital. Utamanya karena hegemoni budaya barat atau Korea dan yang paling parah adalah terkikis oleh nilai Islam Transnasional.
“Islam Transnasional ini memahami Islam yang tanpa batas wilayah, menanggalkan kelokalan, Islam seluruh dunia, salah satunya bermanifestasi Khilafah. Kita digempur informasi yang mempertentangkan Islam dan tradisi, kelokalan dan kebudayaan. Ini seolah-olah ingin mencabut ini semua. Maka kita harus terus mengaktifkan konten-konten di media sosial tentang harmoni agama dan budaya kita sebagai ikhtiar,” katanya.
“Mari kita belajar Islam secara komprehensif jangan sepotong-potong. Islam mengajarkan cinta tanah air. Ini adalah bagian dari keimanan. Tidak boleh mudah mengkafirkan orang lain dan meniadakan satu sama lain. Justru Islam hadir untuk merangkul seluruh umat manusia,” tandasnya. (*)