banner 160x600
banner 160x600
ADV Space 970x250

Lingkungan di “Mata” Jokowi dan Prabowo

Logo Poros Hijau Indonesia

JAKARTA, BeritaBhayangkara.com – Analisa Poros Hijau Indonesia atas Visi–Misi Lingkungan Capres Republik Indonesia 2019 – 2024 Membandingkan visi dan misi dua calon presiden Republik Indonesia 2019-2024 dokumen visi-misi yang diajukan oleh Calon Presiden RI 2019-2024 Joko Widodo “Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” dan yang diajukan Calon Presiden RI 2019-2024 Prabowo Subianto “Empat Pilar Mensejahterakan Indonesia: Sejahtera Bersama Prabowo-Sandi.”

Lingkungan di Mata Joko Widodo Dalam Visi pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin subjudul “Terwujudnya Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.” Misi lingkungan ada di point 4, yaitu “Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan.” Bagaimana hal itu dijelaskan sangatlah menarik: “Pembangunan ekonomi harus memperhatikan daya dukung lingkungan hidup agar pembangunan menjadi berkelanjutan.” Joko Widodo menempatkan lingkungan hidup secara relasional dengan ekonomi, yaitu hanya apabila ekonomi dibangun dengan memerhatikan daya dukung sajalah maka pembangunan bisa berkelanjutan.

Terdapat tiga strategi besar untuk mencapai visi tersebut, yaitu pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Strategi pertama dibuka dengan pernyataan “Untuk mengendalikan penggunaan ruang, maka diperlukan kebijakan tata ruang yang terintegrasi untuk memastikan ruang digunakan secara berkeadilan.” Kemudian, terdapat dua program besar untuk mewujudkannya, yaitu Pertama, Melanjutkan kebijakan Satu Peta untuk menghindari tumpang tindih penggunaan ruang, Kedua, Mengendalikan dan mengawasi kepatuhan pelaksanaannya serta menindak tegas penyimpangannya. Satu Peta adalah solusi jitu atas masalah ketidakpastian ruang, sehingga penegakannya memang sangat diperlukan.

Strategi kedua, mitigasi perubahan iklim, dibuka dengan “Dampak perubahan iklim menjadi permasalahan global.Indonesia harus mengambil bagian dari upaya mitigasi terhadap dampak perubahan iklim.” Yang dimasukkan sebagai program di bawah strategi ini adalah Mencegah kebakaran hutan; Menanam kembali lahan-lahan kritis; Mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) berbasis potensi setempat serta ramah terhadap lingkungan; Melanjutkan konservasi lahan gambut; Mengurangi emisi karbon dan meningkatkan transportasi massal ramah lingkungan; Meningkatkan pendidikan konservasi lingkungan yang berkelanjutan dengan melibatkan komunitas masyarakat adat; serta Memperbanyak hutan kota dan ruang terbuka hijau.

Dari sisi mitigasi, tampak kesadaran penuh bahwa sumber emisi Indonesia adalah pemanfaatan lahan dan hutan. Kesadaran bahwa pembangkitan energi dan juga transportasi sebagai sumber emisi tampak jelas. Strategi ketiga, penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup, dijelaskan dengan “Kerusakan lingkungan hidup akibat pencemaran udara, limbah B3, penebangan liar, pencurian ikan dan terumbu karang, dan penambangan liar menjadi ancaman pada human security.” Tampaknya aneh menggabungkan penegakan hukum dengan rehabilitasi, namun dengan penjelasan tersebut, maksudnya kemudian bisa lebih dipahami.

Di dalamnya terdapat empat program: Merehabilitasi kerusakan lingkungan untuk menjamin daya dukung lingkungan secara berkelanjutan termasuk rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi laut, serta Daerah Aliran Sungai (DAS); Meningkatkan efektivitas pengelolaan dan pengawasan limbah B3 serta percepatan pembangunan pusat pengolahan limbah B3 secara terpadu; Menegakkan hukum dengan tegas terhadap tindakan perusakan lingkungan; dan Mempercepat upaya pencegahan dan rehabilitasi lingkungan akibat sampah plastik serta mendorong berkembangnya industri daur ulang.

Pada wacana dan praktik mutakhir, rehabilitasi lingkungan hidup, harus diartikan sebagai mengembalikan yang rusak pada kondisi semula. Pengembalian ke kondisi semula, atau restorasi, agaknya memang perlu menjadi target yang lebih tinggi. Demikian juga regenerasi, atau peningkatan daya dukung lingkungan, sangat penting untuk dilakukan mengingat di masa mendatang jumlah penduduk Indonesia akan meningkat. “Mendorong berkembangnya industri daur ulang” adalah bagian dari ekonomi sirkular yang kini telah menjadi norma di banyak negara Eropa, Amerika Serikat dan juga Tiongkok, dan merupakan bagian yang sangat penting dalam tujuan regenerasi.

Soal penegakan hukum lingkungan. Penegakan hukum lingkungan yang baik membutuhkan tata kelola dan organisasi yang lebih baik. Jelas diperlukan juga adalah peningkatan kapasitas para penegak hukum lingkungan.

Lingkungan di Mata Prabowo Subianto Visi pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno adalah “Terwujudnya Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, relijius, berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri dibidang ekonomi, dan berkepribadian nasional yang kuat di bidang budaya serta menjamin kehidupan yang rukun antarwarga negara tanpa memandang suku, agama, ras, latar belakang etnis dan sosial berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Misi Lingkungan Prabowo ada di Pilar 1, empat, “Membangun perekonomian nasional yang adil, berkualitas, dan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia melalui jalan politik-ekonomi sesuai pasal 33 dan 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Di situ terlihat bahwa lingkungan disebutkan sebagai wawasan dalam membangun perekonomian nasional yang berarti menjadi salah satu sifat cita-cita ekonomi yang hendak dibangun. Ini mirip dengan apa yang dinyatakan dalam visi Joko Widodo, lantaran bersifat relasional dengan ekonomi.

Tetapi, relasi tersebut tak jelas benar bagaimana sifatnya. Joko Widodo menjelaskan bahwa pembangunan hanya bisa berkelanjutan apabila ekonomi dibangun dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Artinya, pembangunan berkelanjutan adalah cita-citanya, dan hubungan antara ekonomi dengan daya dukung lingkungan dirumuskan dengan cita-cita itu.

Budaya dan lingkungan hidup digabungkan dalam satu pilar, Dalam pilar tersebut, budaya dijelaskan pada butir 1-6, sementara lingkungan di butir 7-10. Keempat butir lingkungan tersebut adalah 7.

Berperan aktif mengatasi perubahan iklim global, sesuai kondisi Indonesia; 8. Memberikan hukuman seberat-beratnya bagi pemilik perusahaan yang terlibat dalam pembalakan liar, kebakaran hutan dan pembunuhan hewan langka yang dilindungi; 9. Merevitalisasi usaha-usaha pelestarian lingkungan menggunakan kearifan lokal, di wilayah-wilayah yang mengalami degradasi lingkungan yang berat; dan 10. Meningkatkan perlindungan hewan langka dengan meningkatkan luasan area perlindungan dan konservasi.

Dibandingkan dengan 3 strategi yang diajukan oleh Joko Widodo, pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup. Keempat strategi Prabowo Subianto tampak lebih ‘berantakan’ tidak ada konvergensi yang diperlihatkan juga tanpa ada peririsan yang jelas mengapa isu Budaya digabungkan dengan isu Lingkungan.

Kalau empat butir tersebut bisa dinyatakan sebagai strategi dalam pilar budaya dan lingkungan hidup, Prabowo Subianto menetapkan 18 Program Aksi di dalamnya, di mana ada 7 program yang terkait dengan lingkungan, yaitu (mengikuti penomoran di dalam dokumen): 2. Mencegah dan menindak tegas pelaku pencemaran lingkungan dan pembakaran hutan serta melindungi keanekaragaman hayati flora dan fauna sebagai bagian dari aset bangsa; 3. Mendorong semua usaha kehutanan dan produk turunannya untuk mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan yang diterima pasar global; 4. Merehabilitasi hutan-hutan yang rusak guna melestarikan alam dan satwa liar; 5. Merehabilitasi daerah aliran sungai dan sumber air; 6. Mendorong usaha pertambangan yang ramah lingkungan, dan menertibkan pertambangan liar; 10. Mendorong penggunaan kantong plastik yang berbahan nabati dan ramah lingkungan; dan 11. Memperbaiki tata kelola perdagangan satwa liar dengan mengedepankan pada perlindungan satwa langka, serta mengundang partisipasi yang lebih besar dari sektor swasta dalam usaha-usaha konservasi.

Dibandingkan dengan program lingkungan Joko Widodo yang berjumlah 13, tujuh program lingkungan Prabowo Subianto memiliki penekanan yang berbeda dan menarik. Penegakan hukum lingkungan, rehabilitasi hutan, dan rehabilitasi DAS masuk ke dalam program Joko Widodo, namun sertifikasi usaha kehutanan dan produknya, usaha pertambangan ramah lingkungan dan penertiban tambang liar, kantong plastik ramah lingkungan, dan tata kelola perdagangan satwa liar menunjukkan penekanan yang berbeda.

Sertifikasi kehutanan adalah salah satu cara untuk memastikan keberlanjutan pengelolaan hutan dengan memanfaatkan instrumen ekonomi (insentif) bagi mereka yang bisa mengelola hutannya dengan lestari. Hal ini sangat penting bagi Indonesia, dan tidak disebutkan dalam program lingkungan Joko Widodo. Sektor pertambangan oleh Prabowo Subianto disebutkan sebagai program, sementara oleh Joko Widodo disebutkan sebagai penjelasan strategi ketiga di dalam misi lingkungan, yaitu untuk mencapai human security.

Karenanya, yang ditekankan oleh Joko Widodo adalah upaya rehabilitasinya, serta pengelolaan terpadu limbah, termasuk limbah B3. Kantong plastik disebutkan secara spesifik oleh Prabowo Subianto, sementara Joko Widodo menyebutkan sampah plastik yang jauh lebih luas maknanya. Kantong plastik itu hendak diganti dengan bahan yang ramah lingkungan, termasuk dengan bahan nabati. Joko Widodo melihatnya secara lebih komprehensif, dengan menyebutkan pencegahan, rehabilitasi dan penciptaan industri daur ulang untuk seluruh sampah bukan hanya kantong plastik. Adapun soal perdagangan satwa liar, sama sekali tidak disebutkan dalam dokumen Visi-Misi Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.

Konsentrasi pasangan ini tampaknya lebih pada penegakan hukum dan penjagaan habitatnya. Mana yang Lebih Baik?: Empat Keunggulan Joko Widodo Membaca kedua dokumen Visi-Misi, terutama bagian lingkungan, dari kedua calon Presiden RI 2019-2024 ditemukan bahwa ada berbagai kekosongan yang perlu diisi. Namun, sangat jelas bahwa Joko Widodo memiliki keunggulan dibandingkan Prabowo Subianto, sebagai berikut: Pertama, Joko Widodo melihat hubungan ekonomi dan daya dukung lingkungan sebagai keniscayaan apabila pembangunan hendak dibuat berkelanjutan. Hal ini dinyatakan secara eksplisit.

Kedua, secara implisit, hubungan antara ekonomi, sosial dan lingkungan misalnya muncul ketika Joko Widodo menjelaskan program perhutanan sosial di bawah strategi redistribusi aset demi pembangunan berkeadilan (Misi 3. Pembangunan yang Merata dan Berkeadilan). Hal ini memperlihatkan Misi yang disampaikan oleh Jokowi memiliki keterikatan satu dengan lainnya dan menjadi satu kesatuan sebagai landasan pembangunan Bangsa kedepan. Perhutanan sosial sama sekali tidak muncul pada Visi-Misi Prabowo Subianto.

Ketiga, Joko Widodo menempatkan tata ruang sebagai strategi pertama untuk mencapai kelestarian lingkungan yang diketahui oleh para pegiat keberlanjutan sebagai prasyarat paling penting bagi kelestarian. Prabowo Subianto tidak menyinggung soal tata ruang dalam Visi-Misinya.

Keempat, cakupan strategi dan program lingkungan Joko Widodo lebih lengkap dibandingkan dengan apa yang ditampilkan oleh Prabowo Subianto. Tiga strategi dan tiga belas program yang disampaikan memang mengelola permasalahan lingkungan paling penting yang dihadapi Indonesia kontemporer. Empat strategi dan tujuh program aksi Prabowo Subianto kalah komprehensif.

Apa yang kurang dari keduanya? Pertama, memastikan adanya komponen adaptasi dalam perubahan iklim, yang terhubung secara integral dari resiliensi dalam menghadapi bencana alam. Jokowi tidak khusus memasukan isu adaptasi perubahan iklim dalam misi lingkungannya, tetapi tersebar dalam Visi Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia, dan Struktur Ekonomi.

Kedua, memasukkan peningkatan kapasitas manusia untuk dapat mengimplementasikan beragam kebijakan dan regulasi lingkungan/keberlanjutan progresif yang sudah dan akan dibuat. Dalam hal peningkatan kapasitas manusia, Jokowi menempatkannya terintegrasi di 3 strategi menjalankan visinya tidak secara eksplisit, namun bisa dilihat dari hal-hal seperti Human Security. Sementara dalam visi dan misi Prabowo sangat susah menemukannya peletakan peningkatan kapasitas manusia.

Ketiga, aspirasi keberlanjutan bukan saja di titik berkelanjutan (tidak ada dampak negatif), melainkan juga hingga restoratif (memperbaiki yang rusak agar kembali seperti semula), bahkan regeneratif (meningkatkan daya dukung sesuai dengan kebutuhan penduduk Indonesia di masa mendatang). Jokowi tidak secara khusus berbicara masalah ini namun ditempatkan pada bagian pembangunan yang berkelanjutan. Prabowo tidak menempatkan keberlanjutan lingkungan dalam model pembangunan yang ditawarkan.

Pewarta : Manurung