Alois Wisnuhardana, Indonesia Eximbanker, (Personal Notes)
Lockdown atau pembatasan berskala besar kembali terjadi di beberapa wilayah dunia dan negara di berbagai belahannya. Beijing kembali menutup diri. Di Eropa, beberapa negara menutup diri dari pergerakan manusia antarbangsa. Di Inggris, jadwal liga sepakbola yang tadinya sudah digelar dengan beberapa ribu suporter, kini terancam dihentikan lagi. Setidaknya, beberapa jadwal sudah ditunda entah sampai kapan.
Pak Jokowi juga telah memutuskan melakukan pembatasan sosial berskala besar, entah untuk ke berapa kalinya, sampai dengan akhir Januari 2021. Jakarta pun telah memberlakukan PSBB kembali sampai tanggal 25 Januari 2021.
Bagaimanapun, itu adalah pilihan yang masuk akal dalam konteks pengendalian dan perlindungan warga. Virus Covid-19, kalau kita baca dari berbagai jurnal medis atau pemberitaan media, menunjukkan gejala perubahan yang amat cepat. Vaksin yang sedang didistribusikan dan disuntikkan ke warga dunia baru saja memasuki tahap awal, tapi virus telah bermutasi ke varian yang lebih baru.
Dalam situasi ketika bangsa-bangsa sedang berusaha mencari kesetimbangan antara prioritas kesehatan dan ekonomi, tentu saja lockdown membuat pendulum bergeser lagi, lebih berat kepada prioritas kesehatan.
Efek Penumpukan
Lockdown, tentu saja berakibat langsung pada penumpukan uang, karena warga terhambat untuk membelanjakan uangnya. Negara-negara tertentu, juga kesulitan untuk membelanjakan anggarannya setelah tutup buku 2020 beberapa pekan lalu. Ini tentu saja meningkatkan jumlah simpanan uang di bank-bank Eropa.
Berdasarkan perhitungan Allianz S.E., ketika sebagian besar aktivitas bisnis terpaksa tutup pada musim semi lalu, anggaran rumah tangga masyarakat Eropa menjadi menumpuk. Second wave persebaran virus, yang diikuti dengan macetnya aktivitas belanja, dalam hitungan Allianz, mengakibatkan adanya penumpukan dana di lembaga-lembaga keuangan dan bank hingga 500 miliar euro atau sekitar 615 miliar USD. Jika dirupiahkan, kira-kira 8.600 triliun rupiah.
Padahal, itu adalah uang yang dalam situasi normal merupakan alokasi pembelanjaan rutin masyarakat Eropa, mulai dari makan di restoran, berbelanja kebutuhan harian, sampai dengan rekreasi. Kepala Ekonom Allianz Ludovic Subran membuat proyeksi, meningkatnya belanja masyarakat akan menaikkan PDB sebesar 1 persen di Eropa pada tahun 2021.
Akibat lockdown, meskipun suasananya tidak seketat pada awal-awal pandemi, terjadi penumpukan uang pada rumah tangga warga Eropa berlangsung dalam kecepatan luar biasa. Berdasarkan prediksi European Central Bank atau ECB, bank-bank akan mengalami pertambahan tumpukan uang tercepat sejak 2009, sampai dengan akhir November 2021 nanti.
Bagaimana dengan proyeksi pertumbuhan ekonominya? Bloomberg memprediksi pertumbuhan ekonomi di Eropa pada tahun 2021 akan berada di kisaran 4,6 persen, setelah tahun lalu mengalami pertumbuhan negatif alias kontraksi hingga minus 7,4 persen. Angka-angka ini tentu menarik, karena lompatannya melampaui satu digit. Pertanyaannya, bagaimana rute pertumbuhan ekonomi dengan lompatan setinggi itu akan berlangsung?
Efek penumpukan uang tentu saja adalah inflasi. ECB pesimis bahwa inflasi bisa berada pada angka di bawah 2 persen sampai dengan 3 tahun mendatang. Barang-barang yang jumlahnya terbatas, dikepung oleh uang yang melimpah, sehingga membuat harga-harga itu akan melejit. Kalau inflasi meningkat, risikonya adalah gangguan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Tapi, bagaimana mengendalikan inflasi? Dalam situasi normal, caranya adalah dengan menggelontorkan barang-barang bernilai ekonomi sebanyak-banyaknya ke pasar? Tapi bagaimana caranya dalam masa pandemi begini? Rantai produksi mengalami guncangan hebat. Sistem suplai terkoreksi akibat pandemi, dan belum menunjukkan tanda-tanda pulih. Ekspor bangsa-bangsa terganggu. Demikian halnya dengan impor.
Yang bisa dilakukan, tentu saja adalah mencoba mencairkannya dari sisi regulasi atau aturan. Pelonggaran aturan –misalnya perpajakan, batas kepemilikan asing—berpotensi membuat uang yang menumpuk menjadi sedikit lebih cair di pasar. Tapi itu pun pasti ada batasnya.
Situasi tersebut, di sisi lain merupakan peluang besar. Pelaku-pelaku usaha yang mampu menghasilkan barang dan jasa dengan rantai permintaan dan penawaran baru hasil koreksi suasana pandemi, akan berpotensi menangguk untung. Bisnis-bisnis berskala mikro, kecil, hingga menengah, bisa memanfaatkan situasi ini secara lebih optimal.
Akan tetapi, sepertinya model ekonomi semacam itu juga membawa konsekuensi lain, yakni makin terpinggirnya orang-orang dan entitas yang tidak berada di dalam rantai sistem produksi-konsumsi tersebut. Artinya? Ya kayak lagunya Rhoma Irama itu: Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Di situlah tugas negara jadi makin pelik.