SOLO, BeritaBhayangkara.com – Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa spanduk yang melarang tempat ibadah dijadikan ajang politik terpasang di berbagai tempat ibadah. Tidak hanya di masjid, namun juga terpasang di gereja, pure dan lainnya.
Menyikapi hal itu, sejumlah takmir masjid, pendeta hingga pemuka agama lainnya di Kota Bengawan setuju dengan adanya pemasangan spanduk berisikan larangan tempat ibadah dijadikan sebagai tempat kampanye terselubung. Masuknya dakwah yang disertai kepentingan politik dapat merusak kesucian tempat ibadah.
“Masjid adalah tempat ibadah. Semua elemen masyarakat bisa beribadah di masjid dengan tenang tanpa dibumbui adanya kampanye terselubung,” tegas takmir Masjid Nurul Huda Sudiroprajan, Jebres Solo, Ahmad Saheri, Rabu (6/3).
Takmir masjid itu menambahkan sangat tidak pantas kalau menjadikan masjid sebagai tempat kampanye. Dia pun mengajak pada semua takmir masjid di Solo untuk bisa bersama-sama menjaga kesucian tempat ibadah.
“Kami terbuka pada siapa saja yang datang ke masjid untuk menjalankan ibadah. Larangan keras kalau masjid buat kampanye pileg atau pilpres,” tandas Ahmad Saheri.
Pernyataan senada dikemukakan takmir Masjid Abi Al Maghfur Kerten, Rahmad Hartanto. Menurutnya, Masjid Abi Al Maghfur melarang kegiatan dalam bentuk apapun yang berbau politik praktis. Masjid adalah tempat menjalankan ibadah bukan tempat kampanye.
“Kami berkomitmen menjaga kesucian masjid. Jangan sampai menodai tempat ibadah untuk tujuan politik praktis,” terangnya.
Adapun berdasar pemantauan di sejumlah tempat ibadah yang dipasangi spanduk berisikan larangan kampanye diantaranya di Masjid Al-Falah Serengan, Masjid Fatah Mojosongo, Klenteng Poo An Kiong Coyudan, di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Baki, Sukoharjo serta tempat ibadah lainnya.
Adapun seruan lain juga datang dari tokoh atau pemuka agama lainnya. Seperti halnya Ketua Parisade Hindu Darma Indonesia (PHHI) Kota Surakarta, Ida Bagus Komang Suarnawa menyatakan, ada tiga pure di Kota Surakarta yakni Pure Agung Saraswati di lingkungan Kampus UNS Jebres, di lingkungan Keraton Surakarta, tepatnya di Baluwarti, Pasar Kliwon serta di Pure Indraprasta Sondakan, Laweyan.
Menurutnya, pure digunakan untuk persembahyangan, baik harian maupun mingguan serta juga setiap 15 hari sekali di bulan purnama, kemudian Hari Raya Galungan, Kuningan, Nyepi dan ibadah lainnya.
“Dan kami tegaskan pure tidak boleh digunakan apapun selain persembahyangan,” tandas pensiunan anggota Polri tersebut. Sementara itu, Pendeta Anthon Karundeng selaku Ketua Umum Badan Antar Gereja Kristen Surakarta (BAGKS) menyampaikan sebagai warga negara dan warga gereja yang baik patuh memenuhi dan mentaati perundang-undangan di negara Indonesia.
“Sekarang ini, telah menuju proses pemilu, mari kita sebagai warga gereja berbondong-bondong untuk datang ke TPS memilih wakil-wakil kita serta memilih presiden dan wakil presiden kita. Untuk itu, kami menyerukan agar rumah-rumah ibadah tidak digunakan untuk kampanye,” urainya.
Ditambahkan Anthon Karundeng, sesuai UU, rumah ibadah baik gereja, masjid serta tempat ibadah lainnya tidak boleh digunakan untuk kampanye. “Kami berharap kita sekalian senantiasa memenuhi hak dan kewajiban sebagai warganegara yang baik,” urainya.
Begitu pula, Pendeta Paulus Purwoko M Th dari Gereja Baptis Injil Sepenuh (GBIS) Wahyu Sejati Girimulyo, Ngargoyoso yang juga sebagai anggota FKUB Kabupaten Karanganyar menolak pemakaian gereja dan rumah ibadah kristen sebagai ajang kampanye dan kegiatan politik praktis.
“Kami mendukung pemilu yang digelar pada 17 April 2019 untuk memilih presiden dan wakil presiden serta memilih wakil rakyat agar berjalan aman, lancar, kondusif dan sukses”.
Pewarta : Manurung