Oleh
Brigjen TNI Joko Slamet, S.IP. M.Si. M.M.
Keberadaan seorang pemimpin dalam sebuah organisasi sangat penting. Kualitas manajemen, supervisi dan gaya kepemimpinannya menentukan apakah organisasi akan maju atau sekedar jalan di tempat. Dalam pandangan saya bahwa seorang pemimpin harus bisa mencetak pemimpin agar pergantian tongkat estafet bisa berkelanjutan.
Melihat track record perjalanan karier seorang Brigjen TNI Joko Slamet, S.IP, M.Si., M.M. yang mengalami peningkatan yang signifikan, maka dapat dikatakan cukup berhasil dalam bidang kepemimpinan. Tentu saja keberhasilan yang diperolehnya, sebagaimana dikatakan oleh peribahasa umum “The Man Behind The Gun– bagus atau tidaknya penggunaan senjata ditentukan oleh orang yang ada di belakang senjata tersebut”. Bagi saya keberhasilan yang diraih adalah karena ada peran dan dukungan orang-orang di belakang saya.
Orang-orang tersebut adalah Sukiran dan Bariyah, yakni ayah dan ibu Brigjen TNI Joko Slamet Sejak kecil, saya dididik orang tua untuk bersikap jujur, belajar, kerja keras, dan kerjakan yang terbaik. Kedua orang tua saya mendukung perjalanan studi saya dari Madiun masuk Akademi Militer (AKMIL) Angkatan Darat di Magelang tahun 1986.
Selama dalam program pendidikan di AKMIL saya memahami bahwa keberadaan saya dan para taruna lain dari berbagai pelosok Indonesia harus menjadikan AKMIL sebagai Center of Excellence sehingga dapat mewujudkan taruna yang profesional dan dicintai rakyat. Maka saya ikut berlatih, belajar dan mengikuti semua rangkaian kegiatan dengan optimal. Disiplin waktu dan disiplin diri adalah kunci utamanya.
Menjadi seorang perwira Angkatan Darat memang menjadi cita-cita saya sejak kecil. Namun siapa sangka bahwa banyak juga konsekuensi yang harus dihadapi. Menjalani posisi sebagai seorang suami, ayah, prajurit, komandan, dan juga abdi negara secara bersamaan tidaklah mudah. Belum lagi berbagai tuntutan pekerjaannya di lapangan. Strategi kami dalam mengasuh dan mendidik putra-putri kami dengan memberi ketauladanan, mengajarkan anak tentang kemandirian, dan yang lebih penting bahwa mereka harus tumbuh menjadi orang yang berani, santun, berakhlak mulia dapat dikatakan telah memperlihatkan hasil. Apakah ini terbentuk dan terjadi secara tiba-tiba ?
Dalam hal ini Saya menggunakan filsafat sebuah bis yang di dalamnya ada sopir dan penumpang. Dalam Bahasa Inggris, sopir adalah “driver” dan penumpang adalah “passenger”. Filsafat tentang driver and passenger ini sesuai dengan judul salah satu buku yaitu: Self Driving Menjadi Driver atau Passenger? Yang ditulis oleh Rhenald Kasali (2016).
Rhenald Kasali mengatakan bahwa dunia usaha (dan juga dunia militer) menghendaki manusia-manusia yang berkarakter driver (bermental sopir atau bermental penggerak) yang senang untuk berkompetensi, namun juga cekatan, gesit, berinisiatif, dan kreatif.
Self Sebagai Kendaraan Kita. Sesungguhnya Allah SWT telah memberi kita “diri” yang bisa kita sebut dengan kata “self”. Self ini adalah sebagai kendaraan– maka sekarang kita bisa memilih arah, mau dibawa ke mana self tersebut. Apa mau diarahkan untuk menjadi orang yang bermental penumpang (self-passenger) atau menjadi orang yang bermental pengemudi (self-drivernya). Sekali lagi, mau pilih yang mana, mau menjadi self passenger atau self driver?
Pilihan yang kita rekomendasikan adalah “jadilah manusia self driver yaitu manusia yang bisa mengendalikan diri”. Sangat benar bahwa kita harus mampu untuk:
“Drive yourself, drive your friend, drive your people, and drive your nation– gerakan dirimu, gerakan temanmu, gerakan orang lain, dan gerakan bangsamu menuju kemajuan dan bangsa yang bermartabat di dunia”. Namun kenyataannya adalah banyak orang di lingkungan kita, atau mungkin kita sendiri yang “bermental passenger– yaitu bermental penumpang”. Bagaimana dengan karakter seorang penumpang?
Seseorang yang menjadi passenger, dia akan punya diri dengan kualitas sebagai pengikut. Dia punya mental yang kerdil- itu terjadi karena dia terbelenggu oleh settingan otak yang kondisinya tetap (statis) atau kurang bergerak.
Sebaliknya seseorang yang menjadi driver dia akan mampu mendorong– karena memiliki settingan otaknya (mindsetnya) yang selalu tumbuh (dinamis). Mereka mengajak orang-orang lain untuk ikut berkembang dan bisa keluar dari tradisi lama menuju tanah harapan. Mereka berinisiatif memulai terjadinya perubahan tanpa ada yang memerintah namun tetap bersikap rendah hati dan kaya empati. Jadinya saya sendiri memilih untuk menjadi seorang driver, yang berarti “penggerak”, selalu menggerakkan diri, lingkungan, keluarga hingga kesatuan kerjanya.
Menanamkan Kemandirian Buat Putra Putri
Pandangan Brigjen TNI Joko Slamet, S.IP, M.Si., M.M. dan Ibu Vera Sylvia dalam Pernikahan adalah ibarat sebuah taman atau kebun yang perlu selalu dijaga dan dirawat. Niscaya kalau lupa merawat maka bermunculan duri dan semak yang akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Dari perkawinan kami dikarunia 3 orang anak, yaitu: Rovi Ardya Prawira dan Rizki Ardiza Prawira (putra) serta Alya Viera Syafitri (putri). Kehadiran mereka adalah sebagai amanah dari Allah SWT, yang mana mereka perlu didikan, dorongan dan pengalaman agar selalu tumbuh dan berkembang dengan optimal.
Rumah merupakan tempat dan tumbuh berkembang yang utama bagi putra-putri kami. Semua bangsa besar– bangsa yang sudah maju sumber daya manusianya bermula tumbuh dari rumah-rumah warga negaranya. Tidak langsung serta merta jadi bagus dalam hitungan waktu melalui bengkel yang bernama seminar, pelatihan, workshop atau simposium.
Tidak ada sebuah kualitas yang besar muncul lewat usaha dadakan, semua melalui proses dan berevolusi sepanjang waktu. Saya bersama istri selalu memotivasi putra-putri kami untuk selalu melakukan setiap proses kehidupan yang berkualitas. Masalah pendidikan merupakan hal yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan sosial. Pendidikan juga berpengaruh pada well-being– kesehatan dan kesejahteraan. Keluarga kami memperhatikan hal-hal kecil termasuk soal jam tidur anak sewaktu kecil. Mereka harus tidur lebih cepat agar tidur bisa pulas dan badan serta pikiran mereka menjadi segar. Mereka perlu tidur sekitar jam 7 atau jam 8 per-malam. Jadinya mereka harus pergi tidur malam sekitar jam 9 atau 10 malam. Konsep mendidik putra-putri bagi keluarga kami adalah dengan menanamkan kemandirian atau self-help dan mencegah terbentuknya “generasi service”.
Generasi servis maksudnya bahwa mereka bisa menjadi hebat dengan prestasi akademik yang tinggi bukan karena kemandiriannya. Namun karena banyak diprogram dan diberi servis sejak usia dini (Rhenald Kasali, 2016). Saat bersekolah di SD, dan agar tidak bermasalah dengan mata pelajaran maka orang tua menyewa (membayar) guru privat untuk datang ke rumah guna bisa menemani mereka dalam mengerjakan PR, serta menghadapi ujian-ujian lainnya di sekolah. Itu semua bertujuan agar mereka bisa menjadi bintang pelajar di sekolah. Generasi service atas nama demi keberhasilan sekolah, mereka bebas dari tuntutan ikut membantu tugas-tugas di rumah. Mereka tidak boleh ikut merapikan dan mengurus rumah– tidak boleh menyapu, cuci piring, menyetrika, memasak nasi. Generasi service hanya terbelenggu oleh urusan akademik. Untuk memenuhi kebutuhan sendiri– seperti makan, pakaian dan pernak pernik kecil lainnya, mereka siap dilayani. Sekali lagi, ini tidak berlaku bagi putra-putri kami, semua dilatih buat mandiri dan peka terhadap lingkungan.
Selain menanamkan konsep ilmu dunia, putra-putri kami juga harus kami bekali diri dengan spiritual. Mereka perlu belajar dan mengamalkan ajaran agama. Dari kecil mereka belajar mengaji, ikut didikan subuh dan juga kegiatan sosial lainnya. Agar mereka juga peka dan peduli dengan sesama.
Sebagai seorang kepala keluarga, saya selalu belajar buat menjadi ayah yang ideal bagi putra-putri saya. Ayah ideal merupakan sosok seorang ayah yang senantiasa menjadi dambaan putra-putri. Selalu memberikan keteladanan dan menjadi panutan. Bukan berarti bahwa ayah ideal itu selalu perfect (sempurna), sebagai manusia saya juga punya kekurangan, namun terbuka untuk menerima kritikan dari anak dan siapa saja. Kritikan tersebut adalah umpan balik (feed back) untuk menjadi maju.
Sekedar catatan bahwa strategi kami dalam mengasuh dan mendidik ketiga putra-putri kami dengan memberi ketauladanan, mengajarkan anak tentang kemandirian, dan yang lebih penting bahwa mereka harus tumbuh menjadi orang yang berani, santun, berakhlak mulia dapat dikatakan telah memperlihatkan hasil. Putra kami “Letda Inf Rovi Ardya Prawira, S.Tr.Han” tercatat sebagai peraih Adhi Makayasa AKMIL tahun 2018. Adhi Makayasa adalah penghargaan tahunan kepada lulusan terbaik dari setiap matra TNI (juga Kepolisian). Penerima penghargaan ini adalah mereka yang secara seimbang mampu menunjukkan prestasi terbaik di tiga aspek: akademis, jasmani, dan kepribadian (mental). Penganugerahan Adhi Makayasa secara langsung diberikan oleh Presiden RI. Kemudian “Ipda Rizki Ardiza Prawira, S.Tr.K” adalah lulusan AKPOL tahun 2019. demikian semoga bisa menjadi inspirasi bagi orang tua semua…terang Brigjen TNI Joko Slamet, S.IP., M.Si., M.M.
Saat penyampaian akhir di sela-sela kesibukan Brigjen TNI Joko Slamet, S.IP., M.Si., M.M. di Mabes TNI Cilangkap.