banner 160x600
banner 160x600
ADV Space 970x250

Sagu dan Papeda, Kearifan Lokal Warga Papua Bernilai Luhur dan Lestari

Anggota Satgas Yonif PR 328/DGH berbaur bersama warga Kampung Yetti membantu pengolahan sagu dan papeda.

PAPUA, BeritaBhayangkara.com – Dalam rangka membangun silaturahmi dan komunikasi bersama warga sekaligus melestarikan nilai kearifan lokal masyarakat Papua, anggota Satgas Yonif PR 328/DGH berbaur bersama warga Kampung Yetti membantu pengolahan sagu dan papeda.

Demikian dikatakan Dansatgas Pamtas Yonif PR 328/DGH, Mayor Inf Erwin Iswari, S.Sos., M.Tr (Han), dalam rilis tertulisnya di Pos Kotis, Skouw, Papua. Minggu (26/5/2019).

Disampaikan Dansatgas, sagu dan papeda merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan keseharian masyarakat Papua.

“Sagu memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dari nasi, namun demikian kandungan gulanya lebih rendah (dibanding nasi), sehingga pada dasarnya Sagu merupakan makanan yang sehat,” ujar Dansatgas.

“Selain itu, dalam pengolahan sagu, sesungguhnya banyak filosofi kehidupan yang telah menjadi ciri bangsa Indonesia, yaitu kepedulian dan bergotong royong,” imbuhnya.

Menurut Erwin, dari dua sisi itulah yang menjadi alasan bagi anggota Satgas untuk turut serta membantu warga mengolah sagu menjadi papeda.

“Kita juga perlu belajar, karena sebagai prajurit kita harus siap ditugaskan dimana saja,” tegasnya.

“Dengan belajar mengolah sagu ini, tidak hanya melestarikan warisan budaya bangsa namun juga untuk kepentingan bagaimana cara kita memanfaatkan bahan yang ada untuk bertahan hidup,” tambah Erwin.

Lebih lanjut lulusan Akmil tahun 2002 ini menjelaskan bahwa dalam pengolahan sagu, meski terlihat sederhana namun sesungguhnya memerlukan keahlian khusus.

“Warga di sini memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan sagu secara turun temurun. Mereka bisa memilih pohon sagu yang telah matang. Selain itu, untuk membuat peralatan pengolahannya pun disini sangat sederhana yaitu menggunakan apa yang ada disana,” ucapnya.

“Demikian juga menyaring dan mengumpulkan sagu dalam wadah tersendiri, bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, karena dikerjakan secara gotong royong, pengolahan sagu demikian mudah dan saat selesainya pun mereka membagi secara adil dan bijaksana,” tambahnya.

Untuk pohon sagu yang tingginya 3-4 meter, menurut Erwin, setelah diolah menjadi papeda, dapat dikonsumsi oleh 2 (dua) keluarga selama kurun waktu 3 hari.

“Karena diambil dari sari pati, maka papeda basah maupun kering tidak bau atau rusak. Biasanya pohon berketinggian 3-4 meter dapat menghasilkan sagu untuk kebutuhan dua keluarga selama tiga hari. Bahkan bagi anak-anak, ulat sagu merupakan makanan yang menarik dan bergizi,” tuturnya.

Selain itu, menurut Erwin , Ulat sagu memang terlihat menjijikan, namun binatang yang hidup di pohon sagu yang lapuk ini justru memiliki kandungan nutrisi yang baik.

“Khususnya bagi anak-anak diyakini dapat membantu membangun otot, dan kandungan asam lemak dapat mengurangi peradangan dan resiko depresi, asma dan rematik,” jelas Erwin.

“Jadi dari apa yang kita pelajari, dari pengolahan sagu dan papeda ini kita dapat menyimpulkan bahwa ini merupakan kearifan lokal masyarakat Papua yang bernilai luhur dan lestari,” tegasnya.

Terpisah, Kepala Kampung Yetti, Charles Numbun mengatakan gembira dengan kedatangan anggota pos Satgas yang membantu mereka mengolah sagu.

“Dengan adanya peralatan dari Dinas Sosial (yang mereka terima beberapa waktu lalu), kami semakin mudah memarut sagu, dan kami terima kasih kepada Satgas yang sudah membantu dan ikut bersama warga dalam mengolah sagu dan papeda,” pungkasnya.

Pewarta: Putri